History of Theatre

Dalam tulisannya yang berjudul Poetics, Aristoteles mendefinisikan tragedi sebagai berikut:
       ….is the imitation of a good action, which is complete and of a certain length, by means  of language made pleasing for each part separately; it realies in its various elements not on narrative but on acting; through pity and fear it achieves the purgation (catharsis) of such emotions

(merupakan imitasi dari laku yang bagus, dan dari seseorang yang memiliki pengaruh yang besar, dengan memakai bahasa yang menyenangkan untuk setiap bagian secara terpisah; semua itu bersandar pada bermacam-macam unsurnya, tidak diceritakan tetapi yang dilakukan; melalui rasa kasihan dan takut, untuk mencapai katarsis dari emosi-emosi seperti itu.)
                  teater dapat disimpulkan adalah imitasi sebuah realita kehidupan ataupun fantasi yang dimainkan diatas panggung agar dapat dinikmati oleh audience. teater bukanlah drama karena drama adalah anak bagian dari karya sastra sementara teater adalah seni pertunjukkan. tentunya dengan memiliki banyak etika dan estetika serta naluri dalam pengungkapan sebuah makna dan maksud dalam pementasan. memang benar adanya bahwa jika seseorang telah dilabeli oleh teater, tidak menutup kemungkinan dia mampu mendekorasi sebuah kehidupan dan alur setiap hela nafas yang dihembuskan. teater adalah seni pertunjukan bebas tanpa batas. karena seni adalah cara pandang manusia. 

                     Tidak jarang orang mampu menikmati sebuah teater, bahkan bermain teater. karena apa? teater tidak mudah dibawakan dan dimainkan. perlu teknik-teknik khusus dan harus dipelajari didalamnya. Brecht yang menyebut teori Aristoteles sebagai teater dramatik secara tegas menolaknya. Menurutnya tujuan utama pertunjukan teater bukanlah menumbuhkan katarsis, tapi menyadarkan orang-orang yang terlibat di dalamnya (para pemeran dan penonton) tentang kondisi sosial masyarakat tempat mereka hidup yang dapat dan senantiasa berubah. Nasib manusia, situasi dan kondisi sosial yang melingkupinya, bukanlah sesuatu yang sudah terberi, dan sudah dari “sono”-nya demikian, tapi merupakan suatu konstruksi, buatan manusia, dan karena itu kalau manusia mau, ia dapat mengubahnya.  Hukum-hukum  dewa hanyalah suatu buatan yang dirasionalisasikan oleh manusia yang sedang berkuasa. Brecht sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Karl Marx. Oleh karena itu, untuk memahami teori Brecht, menyinggung sedikit pemikiran Marx dapat membantu dalam mempermudah pemahaman.\
                     Dalam pandangan Marx yang menentukan perkembangan masyarakat bukanlah kesadaran, dengan demikian bukan yang dipikirkan masyarakat tentang dirinya, tapi keadaan masyarakat yang nyata (Magnes-Suseno, 1999: 138). Bagi Marx manusia itu ditentukan oleh produksi mereka, baik yang diproduksinya maupun cara berproduksinya. Cara masyarakat menghasilkan apa yang dibutuhkan untuk hidup itulah yang disebut sebagai keadaan masyarakat, dan cara itulah yang menentukan kesadaran manusia. Kata Marx seperti yang dikutip Magnes-Suseno (1999: 140): “Kesadaran  tidak mungkin lain dari yang keadaan yang disadari, dan keadaan manusia adalah proses manusia yang sungguh-sungguh.” Oleh sebab itu manusia cenderung berfikir sesuai dengan kepentingannya. Ia hanya menganggap baik apa yang dianggap baik bila dapat menunjang kepentingan eksistensinya, dan buruk bila mengancam eksistensinya.
                 Brecht menamakan teori teaternya sebagai epik. Untuk membedakannya dengan Aristoteles, ia telah membuat daftar perbandingan yang berisi perbedaan-perbedaan dari keduanya (Brecht, 1978: 37):


Teater Dramatik



Teater Epik



-         lakuan (plot)
-         melibatkan penonton dalam situasi panggung
-         menghabiskan aktivitasnya
-         membekali penonton dengan sensasi
-         pengalaman
-         anjuran/saran
-         perasaan-perasaan naluriah diawetkan
-         penonton berada di tengah-tengah, bersama-sama mengalami
-         keberadaan manusia diterima sebagai kebenaran
-         manusia tidak dapat berubah
-         memandang pada akhir
-         sati adegan mendahului yang lainnya
-         pertumbuhan
-         perkembangan yang linear
-         determinisme evolusioner
-         manusia sebagai hal yang sudah ditentukan
-         kesadaran menentukan keadaan

-         rasa



-         naratif
-         menjadikan penonton sebagai pengamat, tetapi
-         membangkitkan aktivitasnya
-         memaksa penonton untuk mengambil keputusan
-         gambaran tentang dunia
-         argumentasi
-         dibawa ke suatu pengenalan

-         penonton berdiri di luar, mempelajari
-         keberadaan manusia sebagai obyek penyelidikan
-         manusia senantiasa berubah
-         memandang pada bagian
-         setiap adegan mandiri

-         montase
-         garisnya berliku-liku
-         lompatan-lompatan

-         manusia sebagai proses
-         keadaan masyarakat menentukan kesadaran
-         pikiran



    Dari daftar di atas terlihat bahwa teater epik begitu kontras perbedaannya dengan teater dramatik. Hal ini menandakan bahwa Brecht dengan tegas menolak teori yang dirumuskan Aristoteles. Tetapi meskipun begitu, tampaknya ada satu hal yang disetujui oleh Brecht dari pendapat Aristoteles, yakni fungsi menghibur. Dalam defini drama tragedi Aristoteles yang telah dikutip, pemikir Yunani Klasik ini telah secara secara eksplisit menyebutkan fungsi menghibur, yaitu ketika ia mengatakan: “…made pleasing for each part separtely.” Menurut Brecht fungsi yang paling mulia dari kesenian umumnya, dan teater khususnya, adalah menghibur manusia. Dikatakan olehnya:

Teater berarti  mereproduksi peristiwa-peristiwa antara manusia, baik yang pernah terjadi maupun yang direka, dan penyajian itu dimaksudkan untuk menghibur. Setidaknya inilah yang dimaksudkan untuk jika kita berbicara tentang teater, apakah itu yang lama ataupun yang baru (Brecht, 1980: 251).

                  Bila fungsi menghibur itu diabaikan, menurut Brecht, misalnya menjadikannya sebagai pasaran moral, maka wibawa teater menjadi terinjak-injak. Bukan berarti bahwa persoalan moral tidak boleh masuk ke dalam teater, tetapi hal-hal yang berurusan dengan moral tersebut harus menjadi sesuatu yang menyenangkan, atau sesuatu yang menghibur para penontonnya. Tujuan utama penonton pergi ke gedung pertunjukan adalah agar dia bisa terhibur oleh pertunjukan teater yang ditontonnya.
            Persoalannya bahwa sesuatu yang menghibur itu begitu relatif antara satu jaman dengan jaman lainnya. Artinya, sesuatu yang awalnya menghibur, pada satu jaman tertentu, belum tentu akan menghibur orang-orang yang berada di jaman yang lain. Anak-anak muda perkotaan pada umumnya sudah merasa tidak terhibur lagi dengan pertunjukan wayang kulit/golek, tapi bagi anak-anak di jaman baheula, justru pertunjukan wayang menjadi suatu hiburan yang paling digemari dan disenangi.
          Namun meskipun jenis-jenis kesenian tertentu sudah tidak dapat menghibur lagi bagi orang-orang yang datang kemudian, bukan berarti semua jenis kesenian masa lalu tak lagi bisa dinikmati oleh para pewarisnya. Tragedi yang dianggap klasik seperti karya Sophocles, Shakespeare, da Racine, sampai detik ini masih mampu mempesona banyak orang. Begitu pula dengan pertunjukan wayang, kendati telah banyak ditinggalkan, tak sedikit orang-orang yang merasa terhibur, dan dengan demikian dapat menikmati  pertunjukan tersebut.
janganlah jadi penonton teater. bermainlah dan bersenang-senanglah dengan teater...
saya berikan buku panduan bermain teater. klik disini


DAFTAR PUSTAKA
Aristoleles
1982    On Poetry and Style (terjemahan dengan pengantar oleh G.M.A. Grube). Indianapolis: The Bobes-Merril Company

Boal, Augusto
1974        “Teater Kaum Tertindas.” Tanpa Kota: Jaringan Pekerja Teater Pinggiran

Brecht,Bertold
1978    Brecht on Theatre The Development of an Aesthetic (terjemahan dan     
editor John Willett). London: Methuen

No Comment for "History of Theatre"

Post a Comment

Back to Top